Membongkar Dua Gunung Es Perkara di KPK
(suarapembaruan.com, Senin, 6 Januari 2012) Kasus suap proyek wisma atlet SEA Games dan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tahun 2004 menjadi tantangan terbesar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Janji Ketua KPK Abraham Samad akan menuntaskan perkara-perkara besar pada satu tahun awal kepemimpinannya, akan teruji dalam menangani dua perkara kunci ini.
Dua kasus besar tersebut bisa menjadi titik tolak bangkitnya kewibawaan institusi KPK setelah sebelumnya sempat dikriminalisasikan dengan kasus cicak melawan buaya. Keseriusan penanganan kasus ini memiliki dampak signifikan untuk meningkatkan eksistensi KPK dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap kelembagaan KPK sebagai pengawal terdepan pemberantasan korupsi di Republik ini.
KPK harus lebih cermat dan fokus untuk menyelesaikan dua kasus ibarat gunung es tersebut sampai tuntas. Mengapa hal ini penulis tekankan? Karena kasus tersebut melibatkan banyak elite politik negeri ini dan menyentuh pusaran keuangan dan kekuasaan.
UU 30/2003 telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPK untuk membongkar tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya, agar bangsa Indonesia cepat terhindar dari prahara besar yang mengakibatkan banyaknya kerugian negara.
Penetapan politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus suap proyek wisma atlet, yang juga melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, tentu akan mempermudah pengungkapan kasus tersebut secara gamblang. Hal ini merujuk pada pernyataan Abraham, bahwa Angie akan dijadikan pintu masuk untuk menguak lebih dalam kasus tersebut.
Bak menggunakan teori makan bubur panas, perlahan tapi pasti KPK seyogyanya mengarahkan proses penanganannya pada aktor-aktor besar yang selama ini banyak disebut dalam sidang Nazaruddin. Dengan akurasi data dan minimal dua alat bukti yang dimiliki KPK, saatnya aktor yang lebih besar, yang sering disebut dalam persidangan, seperti politikus Mirwan Amir, I Wayan Koster, Anas Urbaningrum, serta Menpora Andi A Mallarangeng dapat diketahui peran mereka yang sebenarnya.
Terutama Anas Urbaningrum, berulang kali disebut oleh Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang, dan Yulianis, terlibat dalam kasus suap wisma atlet yang nilai proyeknya mencapai Rp 161 miliar, dan pembangunan Kompleks Olahraga Hambalang Bogor senilai Rp 1,6 triliun. Jika hal itu benar, proses demokratisasi yang sedang dibangun dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung pada 2010, menjadi ternoda dan cacat akibat praktik money politik.
Untuk membongkar kasus ini sampai tuntas, tentunya hakim harus berani memanggil nama-nama yang terungkap di persidangan.Kesaksian Mindo dan Yulianis juga dapat menjadi pintu awal bagi KPK untuk mengkaji dan meneliti kasus ini secara lebih mendalam, tanpa harus menunggu putusan hakim. Dalam rangka penegakan hukum bidang korupsi, pengadilan dikatakan baik manakala saksi-saksi dibawah sumpah sudah memberikan keterangan. Oleh karenanya, terhadap nama-nama yang sudah disebutkan (Mirwan Amir, I Wayan Koster, Anas Urbaningrum, dan Andi A Mallarangeng) tentunya hakim harus berani memanggil. Dari situlah dapat dijadikan pintu untuk membongkar tuntas kasus korupsi yang melibatkan elite pada pusaran kekuasaan.
Hal serupa juga harus dilakukan dalam penanganan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Dalam kasus ini, puluhan anggota DPR periode 1999-2004 menjadi terpidana karena terbukti menerima suap. Selanjutnya telah menyeret Nunun Nurbaeti dan Miranda Swaray Goeltom menjadi tersangka.
Dalam kasus tersebut, Miranda diduga turut serta membantu tersangka Nunun Nurbaeti melakukan tindak pidana korupsi, dengan memberikan cek pelawat ke anggota puluhan anggota DPR periode 1999-2004, terkait pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Perbuatannya Miranda dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto dan atau Pasal 55 ayat 1 dan ayat 2 KUHP.
Pengelompokan
KPK harus lebih teliti dengan akurasi alat bukti yang tinggi dalam menangani dua kasus besar tersebut agar tidak menjadi bumerang ke depannya. Oleh karena itu, KPK harus melakukan strategi jitu, misalnya, membagi kasus ini menjadi beberapa cluster.
Pengelompokan penanganan kasus ini penting dilakukan agar penanganan perkara menjadi fokus dan akurat. Dalam penanganan kasus korupsi wisma atlet dan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 minimal dapat dibagi menjadi beberapa fokus kelompok. Pertama, kelompok orang yang menikmati hasil tindak pidana tersebut, seperti orang yang menerima suap.
Kedua, kelompok yang menjadi operasional aksi. Apabila melihat perkembangan dua kasus tersebut, kedudukan Nazaruddin, Nunun, dan Miranda Goeltom hanyalah tokoh operasional di lapangan bukan tokoh kunci dalam agenda skenario besar yang telah merugikan keuangan negara.
Ketiga, kelompok yang menjadi sponsor, kegiatan itu terjadi. Beredarnya cek pelawat yang nilainya cukup besar itu tidak mungkin jika hanya murni dari uang Nunun atau Miranda Goeltom. Sebab, pasti ada pihak sponsor yang memiliki kepentingan besar atas terpilihnya Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Apakah itu bankbank yang terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau bank-bank yang bermasalah, atau bahkan perbankan internasional yang berharap sesuatu atas terpilihnya Miranda. Oleh karena itu KPK harus dapat membongkar siapa yang mensponsori dana tersebut. Begitu juga dalam kasus wisma atlet, tidak mungkin Nazaruddin dapat bermain seluas itu jika tidak ada sponsor akses kekuasaan yang besar.
Keempat adalah kelompok intelektual utama yang mendesain adanya korupsi wisma atlet dan suksesi pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 dengan target tujuan tertentu. Tokoh intelektual inilah yang paling menikmati hasilnya akibat tindakan korupsi, maka harus dapat ditemukan dan diadili.
Kelima, karena dua perkara besar tersebut merupakan extra ordinary crime, sudah saatnya KPK dalam penanganannya tidak terpaku pada UU 31/1999 junto UU 21/2010 tentang Tindak Pidana Korupsi saja, tetapi KPK harus berani melakukan lompatan hukum dengan menggunakan UU 8/2010 tentang Pencucian Uang (money laundering) guna mempermudah pelacakan aliran dana lewat perbankan kepada semua pihak yang diduga mendapatkan keuntungan ilegal dalam proses tersebut.
Kelima kelompok tersebut harus dapat dibongkar dengan tuntas oleh para pimpinan KPK. Jangan sampai ada tindakan melokalisasi perkara sampai pada level tertentu saja. Jika ini dilakukan, akan terjadi badai tsunami pemberantasan korupsi di republik ini yang bisa berakibat fatal dalam pembangunan negara hukum bebas korupsi di Indonesia. [ Detail ]
Leave a Reply