Penegakan Hukum Atas Pencurian Ringan
(Media Indonesia (e-paper hal. 26), 16 Maret 2012)
PADA 27 Februari 2012 Mahkamah Agung telah mengeluarkan sebuah kebijakan baru terkait dengan penanganan tindak pidana ringan (tipiring) yang dalam dua tahun terakhir ini telah banyak merobek perasaan keadilan masyarakat, utamanya pada proses penanganan kejahatan pencurian tersebut.
Langkah progresif yang dilakukan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2/2012 mengenai Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP perlu kita sikapi secara positif dan sekaligus kritis.
Harus diakui bahwa selama ini KUHP yang kita pakai sebagai pedoman dan parameter untuk menentukan kriteria pencurian ringan sudah berusia lebih dari 130 tahun. Ketika itu, batas tindak pidana pencurian ringan ialah 26 gulden. Setelah itu pada 1960, sistem hukum Indonesia mengadaptasi batas pencurian ringan menjadi Rp250 (dua ratus lima puluh rupiah), dengan perbandingan pada waktu itu harga minyak dunia berkisar US$1,8 per barel dan harga emas dunia US$35 per ons. Jika dibandingkan dengan situasi saat ini, harga minyak dunia berkisar US$100 per barel dan harga emas menembus hingga US$1.700 per ons. Oleh karena itu, pantas rasanya terobosan hukum yang dilakukan MA dalam penanganan tindak pencurian ringan, yang awalnya nilainya kurang dari Rp250, kini diubah menjadi Rp2,5 juta, karena kasus pencurian dengan nilai kerugian sangat kecil, yang tetap diadili dengan ketentuan Pasal 362 KUHP tentang Pencurian Biasa, sangat merusak nilai keadilan masyarakat. Apalagi barang yang dicuri berada di tempat umum.
Masih melekat dalam ingatan kita tentang bagaimana penanganan kasus pencurian ringan, misalnya pencurian sandal jepit milik polisi oleh AAL di Palu, Sulawesi, atau kasus Nenek Minah, pencuri tiga buah kakao di Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, yang divonis penjara 1 bulan 15 hari (2009). Dua tahun lalu, Kholil dan Basir di Kediri, Jawa Timur, menjadi pesakitan karena mencuri semangka.
Implikasi Terobosan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Perma Nomor 2/2012 mengenai Penye suaian Batasan Tindak Pi dana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP tersebut akan memiliki beberapa implikasi.
Pertama, de ngan peru bahan nilai dari Rp250 menjadi Rp2,5 juta melalui Perma No 2/2012, Mahkamah Agung telah melakukan perubahan hukum dalam memandang penyelesaian nilai atas suatu barang yang dikategorikan sebagai pencurian ringan.
Kedua, terobosan itu apakah mengikat semua penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim).
Penulis melihat keberadaan perma itu menekankan sebagai pedoman hakim dalam menangani perkara yang masuk kategori pencurian ringan. Dengan dikeluarkannya perma tersebut, terdakwa dengan kasus pencurian yang nilainya di bawah Rp2,5 juta, jika masuk ke persidangan, jangan sampai ditahan. Ke depan desain perma yang ada tampaknya akan memiliki implikasi lain yang perlu disempurnakan.
Jika melihat jangkauan kewenangan melalui peraturan Mahkamah Agung, rasa nya hal itu tidak memi liki pengaruh signifikan dan mengikat terhadap polisi dan jaksa, kecuali jika ada spirit bersama dari kedua pimpinan institusi tersebut untuk mendukung kebijakan yang telah dibuat Ketua MA. Perlu diingat bahwa polisi maupun jaksa tetap be kerja dan berpedoman dengan konstruksi yang telah ada dalam KUHAP dan KUHP. Itu berarti, dalam konteks pencurian, polisi atau jaksa akan merekonstruksi ketentuan Pasal 362 KUHP.
Perlu diketahui polisi sebagai penyidik dalam proses penyelidikan kasus pencurian biasanya lebih memfokuskan diri pada ketentuan Pasal 362 KUHP. Polisi bisa menimbang-nimbang apakah perkara tersebut bisa diteruskan dalam proses penyidikan atau tidak. Dalam konteks ini polisi akan melakukan konstruksi rumusan ketentuan Pasal 362 KUHP.
Meski demikian, sebetulnya penyidik tidak bisa hanya membaca dari bunyi teks sebuah undang-undang, tetapi juga harus menggunakan upaya yang cerdas dalam penanganannya. Misalkan polisi harus berani melakukan terobosan untuk memediatori antara pencuri dan korbannya. Pendekatan melalui restorative justice perlu dikembangkan aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, mestinya polisi harus mempunyai pengetahuan psikologi yang memadai untuk menangani masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini diperlukan kualitas penyidik yang baik dan profesional. Apabila proses tersebut mengalami jalan buntu, bisa dilakukan dengan tindak pidana ringan dan polisi harus berani tidak menahan.
Bila kita lihat kembali rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, kewenangan untuk melakukan penahanan atau tidak dalam proses penyidikan sangat bergantung pada penyidik yang menangani perkara. Pasal 21 ayat (1) KU HAP intinya menjelaskan bahwa tersangka a t a u t erdakwa untuk kepentingan penyidikan dapat ditahan karena tiga alasan, yaitu tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
Jika hal itu diterapkan dalam menangani pencurian yang melibatkan orang miskin, tampaknya ketiga unsur yang dirumuskan dalam KUHAP tersebut hampir tidak akan dilakukan tersangka.
Oleh karena itu, polisi harus mempunyai independensi yang kuat dari pengaruh luar dalam menangani setiap perkara.
[ Detail ]