Suksesi MA dan Reformasi Peradilan
[Koran-Digital] Jamal Wiwoho: Suksesi MA dan Reformasi Peradilan
Media Indonesia, 13 Februari 2012
Suksesi MA dan Reformasi Peradilan
Jamal Wiwoho Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta
Masih adanya perbedaan perlakuan penanganan perkara yang melibatkan kelompok elite (orang besar) dan penanganan kasus orang miskin harus segera dikikis habis.”
SETELAH melalui proses panjang, akhirnya Hatta Ali terpilih menjadi ketua baru Mahkamah Agung (MA) menggantikan Harifin Tumpa yang akan pensiun bulan ini. Dengan terpilihnya Hatta Ali, semoga MA bisa menjadi lembaga negara yang bermartabat dan berwibawa.
Selain itu, pergantian kepemimpinan di tubuh MA diharapkan akan memunculkan agenda-agenda dan terobosan baru, yang bisa memberikan semangat baru bagi seluruh hakim di internal lembaga MA untuk melakukan perubahan bersama. Publik memiliki harapan besar agar MA menjadi pilar utama untuk meletakkan penegakan hukum (law inforcement) yang berkeadilan. Sekarang tinggal bagaimana desain perubahan yang akan dilakukan Hatta Ali untuk membenahi carut marut persoalan di badan peradilan Indonesia.
Penulis menilai ada persoalan mendasar yang harus diselesaikan oleh ketua baru MA, yaitu mengenai adanya penumpukan perkara, baik perkara kasasi maupun peninjauan kembali, adanya hakim nakal, sampai masalah praktik mafia peradilan serta integritas para hakim sendiri. Itu semua nantinya akan berujung pada penurunan kredibilitas dan martabat MA di mata publik. Dalam kondisi terburuk, publik akan menilai bahwa penegakan hukum di Republik ini sedang mati suri.
Oleh karena itu, perlu ada konsentrasi khusus yang harus dilakukan Hatta Ali dalam memimpin lembaga MA agar dapat menegakkan hukum dan keadilan serta bisa meningkatkan kepercayaan publik. Langkah strategis yang penting dilakukan ketua baru MA antara lain, pertama, menerapkan fungsi Mahkamah Agung sebagai pembina dan pengawas badan badan peradilan, baik peradilan umum maupun peradilan khusus secara optimal. Hal itu penting dilakukan, karena hakim agung adalah hakim senior dan berpengalaman. Dengan pembinaan dan pengawasan yang baik, putusan-putusan yang dihasilkan hakim tidak sekadar sebagai corong undang-undang. Selain itu, hakim bisa memberikan terobosan hukum secara progresif dalam mensikapi kompleksitas perkara penegakan hukum di Republik ini.
Jika paradigma hakim hanya sebagai corong undangundang, hakim tidak berani keluar dari ketentuan normatif, dengan berlindung di balik kepastian hukum.
Dengan demikian, keadilan substansial yang selalu diharapkan masyarakat agar tercipta akan sulit ditemui dalam tataran pelaksanaannya. Jangan sampai pendapat yang berkembang di berbagai kalangan, bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah dan tidak memiliki akses ekonomi dan politik, tapi tumpul dan tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan dan uang, benar-benar terjadi.
Kedua, ketua baru MA diharapkan mampu menangani dua kasus besar, yaitu masalah tindak pidana korupsi dan narkotika yang telah banyak merugikan keuangan negara, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan generasi anak bangsa. Ketua baru MA harus mampu memberikan hukuman terberat terhadap kejahatan korupsi dan narkotika sebagai pilar utama untuk memberikan keteladanan dalam penanganan penegakan hukum di Indonesia.
Terkait dengan dua kasus tersebut, ketua baru MA harus dapat menjadi spirit dan inspirator terdepan dalam melakukan perang melawan korupsi dan narkotika. Hal itu penting dilakukan karena penegakan hukum yang selama ini terjadi masih jauh dari nilai-nilai keadilan yang diharapkan rakyat. Banyak kasus korupsi yang divonis dengan hukuman ringan (rata-rata 2-5 tahun saja), begitu pula dengan tindak pidana narkotika yang hanya sering menjerat pelaku dalam level pemakai atau korban, dan belum sampai kepada bandar-bandar besar dan pengedarnya.
Dalam kasus tindak pidana korupsi dan narkotika, hakim harus berani menerapkan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi semua pihak yang akan atau sedang terlibat dalam kasus. Hal itu sebagai bentuk komitmen institusi peradilan yang berkontribusi memperbaiki kondisi bangsa yang semakin terpuruk melalui penegakan hukum. Rumusan adanya hukuman mati, sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP, penting untuk diterapkan mengingat Indonesia sudah dalam keadaan darurat akibat menjamurnya tindak pidana korupsi dan narkotika.
Ketentuan hukuman mati juga telah dirumuskan dalam Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hukuman mati juga dirumuskan dalam penanganan tindak pidana narkotika sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 113, 114, 116, 118, 119, dan 121 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah peningkatan kualitas pemahaman para hakim agung atas berbagai masalah yang semakin kompleks sebagai akibat cepatnya perkembangan iptek. Misalnya masalah hak atas kekayaan intelektual (hak cipta, hak merek, hak paten, design industry, rahasia dagang), masalah perbankan, pencucian uang (money laundering), teknologi informasi, dan transaksi elektronik.
Ketiga, perlu adanya reformasi moralitas.
Hal tersebut mendesak dilakukan karena perbaikan kesejahteraan hakim melalui remunerasi ternyata belum dapat memberikan perubahan signifikan perilaku menyimpang yang dilakukan oknum hakim. Pada kenyataannya sebagian hakim ternyata tidak cukup kuat menghindari diri dari gesekan-gesekan para pihak yang sedang beperkara di pengadilan.
Praktik suap atau mafia peradilan masih sering terjadi ketika proses peradilan sedang berjalan. Sosok hakim yang memiliki integritas dan moralitas tinggi diperlukan agar dalam menjalankan tugas benar-benar mengedepankan penegakan hukum dan keadilan, bukan karena faktor lain di luar hukum, misalnya faktor ekonomi.
Namun, faktanya hakim masih sering bersekongkol atau terjebak dalam suap atau sogok atau bahkan berteman dalam sindikat mafia peradilan. Perlunya statement secara terbuka bagi hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai MA yang mengatakan `kami tidak akan menerima suap’ merupakan bentuk komitmen nyata atas reformasi mo rali tas ini.
Reformasi moralitas tersebut dapat dibangun secara komprehensif. Mulai sistem input, yaitu sejak penyaringan hakim, kemudian pendidikan hakim, sistem penentuan jenjang karier, dan penempatan harus dapat dipastikan bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jangan sampai istilah dalam penempatan jabatan–tempat/ jabatan daerah basah dan tempat/jabatan daerah kering–masih terjadi di tubuh MA.
Di samping itu, perbaikan moralitas juga harus tecermin dalam diri hakim pada setiap penangan perkara.
Masih adanya perbedaan perlakuan penanganan perkara yang melibatkan kelompok elite (orang besar) dan penanganan kasus orang miskin harus segera dikikis habis.
Jangan sampai pameo why the have always came ahead, yakni `mengapa si kaya harus selalu menang dalam setiap berperkara’, selalu terjadi dalam kenyatakan persidangan yang disebabkan masih banyaknya faktorfaktor nonhukum seperti ekonomi maupun politik yang memengaruhi putusan.
Reformasi moralitas ini dilakukan tidak hanya terhadap para hakim, tetapi juga staf pendukung seperti panitera, juru sita, dan pegawai lain yang berhadapan dengan masyarakat yang kadang-kadang turut dalam pencederaan penegakan hukum. Publik berharap ketua baru MA mampu mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Situasi yang tidak mudah dilakukan, tapi publik berharap Hatta Ali bisa mewujudkan nya. Semoga.
Leave a Reply