Status Janggal Bupati Rina
Kasus korupsi perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri (GLA) memasuki babak baru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut Bupati Rina dan suaminya Tony ikut menikmati aliran dana GLA. Namun anehnya, status Rina belum menjadi tersangka sampai saat ini.
Duduk di kursi pesakitan, pria berambut putih itu tampak tenang. Tatapan matanya tajam, ketika enam Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan kesaksian yang diperoleh darinya secara bergantian. Beberapa kesaksian yang menjawab berbagai dugaan tentang keterlibatan orang nomor satu di Kabupaten Karanganyar, yakni Bupati Rina Iriani Ratnaningsih.
Dialah Handoko Mulyono, Ketua KSU Sejahtera 2008, yang menjadi saksi kunci kasus korupsi GLA yang merugikan negara belasan miliar rupiah. Dari kesaksian Handoko inilah, Jaksa menyebut Bupati Rina dan suaminya ikut menikmati dana GLA senilai Rp 18,6 miliar yang sumbernya dari Kemenpera tahun 2007–2008.
Kamis (29/7) lalu, Handoko duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Karanganyar. Sesekali ia melemparkan senyum ke pengunjung sidang. Di luar sidang, banyak orang mendukungnya untuk membuka kasus korupsi itu sejelas-jelasnya. Handoko dengan banyak dukungan waktu itu, membuatnya seperti di atas angin.
Istyas Joni, salah satu jaksa mulai membacakan dakwaannya. Handoko bersama-sama dengan Tony Iwan Haryono dan Rina Iriani dalam rentang waktu 2008–2010 didakwa telah melakukan atau turut serta melakukan dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
”Dana bantuan subsidi perumahan yang tidak dipergunakan sesuai ketentuan dan tidak pernah dikembalikan ke kas negara sebesar lebih kurang Rp 18,6 miliar. Dana bantuan tersebut telah dipergunakan terdakwa bersama-sama Tony Iwan Haryono dan Rina Iriani Sri Ratnaningsih untuk kepentingan di luar program bantuan subsidi perumahan dari Kemenpera,” ungkap Sukarman, salah satu JPU.
Selain Sukarman, lima jaksa lain yang membacakan dakwaan secara maraton adalah Istyas Joni, D. Lintang Ashari, Dafit Supriyanto, Bambang Tedjo Manikmoyo, dan Faizal Banu.
Rina Tersudut
Rincian penggunaan dana Rp 18,6 miliar tersebut adalah Rp 370 juta untuk Handoko, Rp 11,1 miliar untuk Tony bersama Rina, Rp 3 miliar untuk kepentingan pribadi Tony, Rp 1,6 miliar untuk kepentingan lain-lain serta puluhan deposito atas nama KSU Sejahtera di sejumlah bank bernilai Rp 2 miliar lebih.
Bupati Karanganyar, Rina Iriani saat itu berada di Jakarta melalui ajudannya menjawab belum dapat memberikan konfirmasi perihal sidang GLA dengan terdakwa Handoko Mulyono. Menurut ajudan bupati, Arief, Bupati Rina sedang sibuk mengikuti kegiatan penyerahan penghargaan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. ”Mohon maaf mungkin besok saja bisa konfirmasi langsung di Karanganyar,” tuturnya.
Janji Rina untuk memberikan konfirmasi ditepati. Soal rincian aliran dana yang dibacakan JPU membuat posisi Rina tersudut. Pasalnya, meski terang benderang Rina disebut jaksa ikut menikmati dana GLA, namun statusnya belum tersangka. Merasa disudutkan itu, Rina merasa berang. Alhasil, Senin (2/8) lalu, Rina buka suara.
Melalui kuasa hukumnya, Warsito Sanyoto, Rina menilai dakwaan JPU bersifat prematur dan sepihak. ”Pengakuan terdakwa dalam perkara tersebut kebenarannya harus diuji dalam persidangan. Harus ada pemeriksaan dahulu terhadap klien kami, Ibu Rina Iriani,” bela Warsito.
Warsito mempertanyakan kesaksian yang menyudutkan Rina, karena, kliennya belum pernah diperiksa sama sekali oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah dalam kasus GLA. ”Dakwaan itu sepihak karena tanpa adanya cek dan ricek kepada klien kami terlebih dulu,” tandasnya.
Sanyoto juga meminta seluruh pihak menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah serta tidak memberikan komentar dan judgement terhadap seseorang yang belum tentu melakukan perbuatan pidana. Tuduhan terhadap kliennya dia nilai dapat menciptakan opini publik yang keliru dan menyesatkan, terlebih Rina saat ini masih aktif sebagai Bupati Karanganyar.”Tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar sehingga menjadi sesuatu yang bersifat fitnah dan character assassination terhadap bupati yang sedang menjabat, yang dipolitisasi untuk tujuan politik tertentu padahal harus dipisahkan antara klien kami sebagai istri Tony Iwan Haryono dan bukan dalam sebagai Bupati Karanganyar,” kesalnya.
Pembelaan Rina justru menjadi bola salju yang memicu sejumlah aktivis dan pakar hukum berbicara. Koordinator MAKI, Bonyamin Saiman, misalnya, menyatakan, satu-satunya cara mengungkap benar tidaknya keterlibatan Rina adalah jaksa harus memeriksanya.
Menurutnya, penyebutan nama Rina sebanyak tiga kali oleh JPU, bersama suaminya ikut menikmati uang GLA cukup dijadikan alasan Rina bisa segera dikenakan status tersangka. ”Hanya saja hingga sekarang izin pemeriksaan presiden memang belum turun. Padahal untuk kasus bupati yang korupsi lainnya saja bisa, masa untuk Rina tidak? Kejati Jateng jangan lamban mengurus itu, dan jangan sampai penegakkan hukum terkesan tebang pilih,” desaknya.
”Handoko dan Tony (dua tersangka -red) itu cuma orang partikelir alias boneka dan tidak bakal bisa melakukan korupsi tanpa adanya dukungan kekuasaan yang lebih besar. Jadi kalau bilang tidak ada kekuasaan yang mempengaruhi keberadaan kasus ini, omong kosong.”
Status Janggal
M. Badrus Yaman, praktisi hukum dari Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum UMS menilai jika pihak Kejati Jateng belum total dalam menangani kasus skandal GLA. Seharusnya, kata Badrus, pengajuan izin ke Presiden untuk memeriksa Bupati Rina, menjadi prioritas utama sebelum menetapkan tersangka yang lain. Karena berdasarkan logika hukum, dan bukti-bukti yang telah berhasil dihimpun Kejati, kasus GLA terjadi secara sistemik, dan semua itu berdasarkan tanggung jawab Rina selaku kepala daerah Karanganyar. ”Ini secara bahasa hukum ganjil. Karena nama Rina sudah disebut berturut-turut dalam dakwaan JPU di persidangan, tapi statusnya belum tersangka. Jadi saya harap jangan ada politisasi dalam kasus ini,” katanya.
Sepaham, Guru Besar Fakultas Hukum UNS, Prof. Dr Jamal Wiwoho, berpendapat jangan ada politisasi dalam penanganan kasus GLA. Namun dia, menentang pembelaan kuasa hukum Rina, yang mengatakan, penyebutan nama Rina selama berkali-kali oleh JPU dalam persidangan Handoko sebagai fitnah, sepihak dan prematur. Terlebih tuduhan JPU yang diklaim bakal berujung pada character assassination, yang dipolitisasi untuk tujuan politik tertentu terhadap Rina selaku bupati aktif. ”Sejauh pengamatan saya, tidak ada itu dampak character assassination, ataupun politisasi dalam dakwaan JPU. Bahaya jika menuduh seperti itu. Dalam dakwaan tersebut, pihak JPU baru sebatas melakukan pendalaman terhadap kasus, dan ini merupakan proses hukum yang murni dan wajar,” katanya.
”Penyebutan nama Rina oleh JPU itu pun saya yakin tidak asal main tuduh, dan bersifat sepihak karena pasti sudah teliti yang didasarkan pada keterangan saksi dan barang bukti yang ada.”
Jamal sepakat, jika Kejati Jateng harus segera mengurus izin pemeriksaan Rina, sehingga semua bisa menjadi jelas dan tidak beralih menjadi perang fitnah dan opini ataupun debat kusir tanpa dasar hukum yang kuat. ”Untuk semua pihak hormatilah proses hukum, dan bagi Kejati Jateng juga jangan sampai tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum,” tegasnya.
Pihak JPU sendiri belum bisa dimintai keterangan terkait bantahan dari kuasa hukum Rina tersebut. Karena menurut Faizal Banu, salah seorang anggota JPU, pihaknya masih melakukan penyelidikkan lebih lanjut terkait kasus GLA. ”Nanti ada saatnya kami cerita. Yang jelas kami masih menjalankan proses hukum sesuai aturan yang berlaku,” jawabnya singkat.
Sementara dari Semarang, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah akan menindaklanjuti hasil sidang perdana kasus GLA ini. ”Kami akan menindaklanjuti keterangan terdakwa Handoko dan dugaan keterlibatan Bupati Karanganyar,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Salman Maryadi.
”Jika kemudian diperlukan surat izin pemeriksaan dari Presiden untuk pemeriksaan Bupati Karanganyar, maka kami akan segera mengirimkan surat permohonan sesuai dengan prosedur yang ada.” [ Detail ]
Leave a Reply