Diskusi APHAMK Melalui Vicon Mahkamah Konstitusi
Pada Hari Senin Tanggal 31 Januari 2011 Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan Diskusi bulanan yang dilakukan berdasarkan kerjasama antara Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Konstitusi. Diskusi yang dilakukan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mempunyai tema ” Hak-hak Konstitusional Warga Negara Dalam Pemilihan Umum.
Acara diskusi yang dilaksanakan mulai pukul 09.00 wib ini diikuti oleh civitas akademik mulai dari para dosen, anggota APHAK, serta mahasiswa yang melakukan interaksi melalui Video Converence Mahkamah Konstitusi yang tersebar di 39 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Dalam Acara ini yang menjadi Narasumber adalah Dr. Widodo Eka tjahjana S.H., M.Hum (Ketua APHAMK DPPusat), Prof Galang Asmara (Universitas Mataram), Prof Jamal Wiwoho (Universitas Sebelas Maret), Dr Himawan (Universitas Soetomo), Dr. Eko Sabar (Universitas Diponegoro), dengan moderator Sunny Ummul F (Sekretaris APHAMK DPPusat)
Dalam diskusi ini dibahas berbagai permasalahan mengenai hak-hak warga negara dalam pemilu. dimalai Prof Galang Asmara (Universitas Mataram) yang menjelaskan mengenai banyaknya hak-hak warga negara untuk memilih calon sesuai dengan hati nuraninya yang tidak terpenuhi terutama bagi warga negara yang sedang sakit sangat disayangkan belum ada TPS keliling. kemudian Dr. Widodo Eka tjahjana S.H., M.Hum (Ketua APHAMK DPPusat) melanjutkan diskusi ini dengan memaparkan hak dipilih dan memilih adalah hak dasar warga negara dalam mengikuti pemilu termasuk dalam hal ini adalah hak tidak memilih dan dipilih. Setelah dari Dr. Widodo bergeeser ke UNS. giliran Prof jamal menjelaskan mengenai Hak-hak TNI dan POLRI untuk memilih, apabila memungkinkan sebaiknyaTNI &POLRI diberikan Hak untuk memilih. Dr. Himawan sebagai pembicara terakhir menjelaskan UUD 1945 cukup liberal karena perbedaan antara hak untuk setiap orang dan hak warga negara dapat terlihat jelas. mengenai hak-hak yang terdapat dalam pemilu yaitu hak mencalonkan, dicalonkan hak untuk dipilih dan memilih.
Selain pemaparan oleh para narasumber dalam diskusi ini juga tanya jawap yang oleh para peserta dengan para sumber. Diantaranya oleh Azratul (UNEJ JEMBER) yang menanyakan mengenai Terkait wacana di jogja dalam hal pengangkatan langsung raja menjadi gubernur. Apakah hal tersebut tidak menciredai demokrai di Indonesia. Bagaimana idealnya sistem pemilu yang efektif di jogjakarta?
Dr. Widodo: Konsitusi dengan jelas dalam pasal 18 UUD 1945 memberikan sifat keistimewan untuk daerah istimewa. Namun, pemerintahan pusat memberikan wacana bahwa bentuk kerajaan (monarki) bertentangan dengan demokrasi karena hal ini dilihat dalam pasal 18 ayat 4. jika dilihat secara seksama bahwa ayat tersebut hanya untuk gubernur tidak ada pengaturan wakil gubernur. Artinya, diperlukan amandemen ke 5 UUD 1945 untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada. Prof Galang: Demokrai, secara teoritik dikenal demokrasi secara umum dan khusus. Dengan istilah daerah istimewa adalah demokrasi secara khusus. Sehingga jika dilihat kekhususannya, dimana rakyat memang menginginkan kekhususan pengangkatan raja menjadi gubernur secara langsung, seyogyanya harus dihormati. Dr. Himawan Norma hukum konstitusi adalah norma yang umum dan perlu dijelaskan lebih lanjut, sehingga akan dijelaskan langsung oleh UU. Sepanjang regulasi kepala daerah, secara interprestasi harus masuk dalam pasal 18 UUD 1945. dipilih secara demokrasi harus diinprestasi oleh yang berwenang dalam hal legislatif yaitu DPR dan pemerintah. Kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan apabila terjadi kekosongan harus ada yang mengganti dan itupun harus sesuai dengan kehendak rakyat. Dr. Eko Sabar: Akan lebih baik jika dilakukan referendum di jogja agar dapat menggambarkan secara langsung aspirasi dari masyarakat jogja. Udayana Bali: Pemilihan kepala daerah yang dipilih baik secara langsung ataupun tidak, semua dibenarkan oleh konstitusi dan tidak menciderai demokrasi.
Jawaban dari UNS (Ahmad) Jika terjadi referendum dan semua masyarakat memilih adanya pengangkatan, maka dimungkinkan akan Jogja akan terlepas dari Indonesia
Dalam acara ini ditutup dengan Clossing Statement Dr. Widodo Eka tjahjana S.H., M.Hum (Ketua APHAMK DPPusat) UUD 1945 adalah hukum formil utama di Indonesia. oleh karenanya UUD jangan terlalu membuka kesempatan untuk terjadinya multitafsir agar tidak mengacaukan ketatanegaraan RI.
Leave a Reply