Aksi Bungkam Jaksa Urip
PRIA itu hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana bermotif loreng-loreng. Siang pekan lalu, ia terlihat asyik bercengkerama dengan dua orang petugas dari Markas Besar Kepolisian di sebuah ruangan di depan pos penjagaan. Tak terlihat tanda-tanda stres di wajahnya. Dialah Urip Tri Gunawan, jaksa yang tiga pekan lalu menjadi pembicaraan ramai lantaran menerima duit sekitar Rp 6 miliar dari Artalyta dan kini ditahan di rumah tahanan Brigade Mobil di Depok.
Rabu pekan lalu, saat Tempo masuk ke rumah tahanan Urip tanpa melalui pintu gerbang utama, lewat sebuah jalan lain, bapak dua anak ini menyambut ramah. Apalagi saat Tempo memperkenalkan diri sebagai teman dekat sejumlah sahabatnya. “Terima kasih atas perhatiannya,” kata Urip.
Namun semua berubah kala dua petugas yang sebelumnya hanya duduk-duduk datang menghambur. “Ini dari mana?” ujar seorang di antaranya. Saat disebutkan dari Tempo, petugas itu langsung menghardik. “Kalau wartawan, tidak bisa sembarangan wawancara ke sini,” katanya, “harus ada surat resmi dari Markas Besar atau KPK.”
Urip juga menolak diwawancarai. “Saat ini saya tidak ingin ada pemberitaan,” ujarnya. “Nanti saja, kalau sudah waktunya, pasti akan saya sampaikan,” kata pria yang biasa dipanggil Wawan oleh teman-temannya itu. Lalu dua petugas pun menggiring Tempo ke luar rumah tahanan.
Hingga saat ini, Urip memang tak berbicara kepada pers. Beberapa kali dihadang wartawan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, ia memilih bungkam. Menurut sejumlah kolega dekatnya, Urip belum mau buka mulut soal kasusnya. “Belum waktunya,” kata Stefanus Ananta Wahana, teman seangkatannya di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Sebelumnya, Achmad Taufik, teman dekat Urip lainnya, mengungkapkan Urip pernah meminta teman-temannya membantu meng-counter berita yang bertubi-tubi menghantamnya.
Kasus Urip menjadi perhatian alumni Fakultas Hukum UNS. Ia ditangkap beberapa hari menjelang reuni akbar alumni Fakultas Hukum UNS. “Padahal Wawan sempat ikut rapat persiapan reuni,” ujar Jamal Wiwoho, salah satu ketua reuni yang juga pengurus alumni Fakultas Hukum UNS. Bahkan reuni pada 7-9 Maret di Solo itu juga membahas kasus Urip. Pembahasan yang berlangsung di Hotel The Sunan itu menghasilkan rekomendasi agar mendorong Urip mengatakan apa adanya dan mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut. “Teman-teman juga sepakat mem-back up bila Wawan minta bantuan hukum,” kata Jamal.
Menurut Taufik, mereka yang bersiap menjadi pembela Urip ada lima orang. Sebagian di antaranya berprofesi pengacara dan semuanya teman seangkatan Urip, alumni 1985. Senin pekan ini, mereka akan menemui Urip untuk membahas rencana pembelaan itu.
Tertangkapnya Urip juga menjadi buah bibir warga Dusun Canthel, Sragen, tempat asal-usul Urip. “Warga Canthel jadi rajin beli koran,” ujar Sudarto, ketua rukun tetangga setempat. “Mereka ingin mengikuti perkembangan kasus Urip.”
Urip adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sugiyono (almarhum), pensiunan mantri suntik Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen. Sejak lulus kuliah pada 1990, Urip tak lagi tinggal di Sragen. Sebagai jaksa, ia terus berpindah-pindah tugas. Pernah di Jakarta, Timor Timur, Bali, dan kemudian balik ke Jakarta.
Meski hanya bergaji Rp 3,5 juta, ia memiliki sejumlah rumah. Selain punya rumah mentereng di Bali, Urip memiliki rumah di Jalan Pratama 4 Blok V Nomor 7, Kemang Pratama, Bekasi. Setelah pindah dari Bali, anak dan istri Urip kini tinggal di rumah tersebut.
Saat ditangkap, ia sebenarnya sedang mengerjakan renovasi rumah orang tuanya di Sragen. Sebelumnya, belasan tukang bekerja di sana. Namun, setelah Urip ditangkap, pekerjaan itu terhenti. “Dulu kami bangga kepada Wawan saat menjadi jaksa penuntut Amrozi, sekarang kami terkejut,” ujar Sudarto. [ Detail ]
Leave a Reply