January 27th, 2012 by admin

(Suara Karya Online, Kamis, 26 Januari 2012) Awal tahun ini, publik kembali dikejutkan dengan kasus AAL (15 tahun) pencurian sandal jepit di Palu, Sulteng yang divonis bersalah dan dikembalikan ke orangtuanya di PN Palu. Proses penanganan perkara pidana ini dianggap oleh banyak kalangan tidak bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rakyat kecil selalu lemah jika berhadapan dengan hukum. Aksi solidaritas publik pun menggema di suluruh pelosok negeri.

Sebenarnya masih banyak rakyat kecil yang mengalami rasa ketidakadilan macam itu. Misalnya, kasus Aminah, pencuri tiga butir kakao di Banyumas yang divonis penjara 1 bulan 15 hari (2009). Kemudian, Supriyadi (40), terlibat kasus pencurian dua batang singkong dan satu batang bambu di Pasuruan divonis 1 bulan 20 hari kurungan (10/2010). Kasus Amirah, pekerja rumah tangga yang dituduh mencuri sarung bekas di Pamekasan, dipenjara 3 bulan 24 hari (7/2011) .

Berbagai kasus pencurian yang melibatkan rakyat kecil selalu mendapatkan pembelaan oleh publik. Di sini akan menjadi perdebatan hebat dari substansi tujuan hukum itu sendiri antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Secara teoritis filosofis, rumusan tersebut sangat ideal, namun dalam tataran empiris, ketiganya sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pembelaan publik selalu memakai pendekatan keadilan substansial, bukan sekedar prosedural dan mengedepankan alasan-alasan sosiologis. Dalam kondisi tertentu akhirnya muncul pendapat umum bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik, namun tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan.

Dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), perkara pencurian kecil yang melibatkan orang miskin akan selalu dihadapkan pada dilema yang sulit dicarikan jalan keluarnya. Di satu sisi, pencurian adalah perbuatan pidana yang menimbulkan korban dan hukum positif dengan ancaman pelanggaran Pasal 362 yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Namun, di sisi lain, rakyat miskin yang melakukan perbuatan itu mungkin karena hanya faktor ketidaktahuan semata bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk tindak pidana ataupun karena faktor keterpaksaan untuk menyambung hidup.

Pembelaan publik terhadap kasus pencurian kecil macam itu dapat diidentifikasi menjadi dua isu mendasar. Pertama, mengenai proses penanganan perkara bagi kaum miskin oleh aparat penegak hukum yang tidak profesional dan diduga melanggar norma penanganan perkara pidana. Kedua, publik mempersoalkan kenapa pencurian kecil oleh kaum miskin harus dimejahijaukan?

Dalam konteks dukungan publik, pada isu pertama, aparat harus selalu bertindak profesianal berdasarkan norma hukum yang ada. Namun, dalam konteks yang kedua, penulis kurang sependapat, jika aparat penegak hukum dipersoalkan apabila memproses tindak pidana pencurian kecil yang dilakukan oleh kaum miskin. Di sini perlu dibedakan mengenai kasus pencurian dan kasus pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat dalam menangani perkara. Tentunya apabila ditemukan pelanggaran hukum, dua-duanya harus sama-sama ditegakkan.

Aparat penegak hukum pada kasus pencurian, dalam menjalankan fungsinya sangat terikat dengan ketentuan norma Pasal 362 KUHP dan dipaksa membunyikan dan menegakkan ketentuan itu. Jika tidak, aparat penegak hukum bisa kesalahan, dan dikira tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Di sinilah dilema yang dihadapi oleh aparat penegak hukum terutama polisi sebagai garda terdepan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Rumusan pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 362 KUHP sangat jelas. Jika polisi berani menangani perkara pencurian maka harus dapat memenuhi 4 unsur utama yang harus dibuktikan sesuai dengan rumusan delik pencurian.

Pertama, ada perbuatan mengambil. Kedua, yang diambil harus sesuatu barang. Ketiga, barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Dan, keempat, pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Jika aparat penegak hukum menyakini 4 unsur itu terpenuhi maka sah untuk diproses sampai di pengadilan. Apabila sampai akhirnya hakim meyakini unsur itu terbukti dan memvonis bersalah, tentunya publik harus bisa menerima. Jika sekiranya putusan tersebut tidak adil tentunya harus disalurkan dalam mekanisme hukum yang benar, yaitu melalui banding dan kasasi.

Dalam konteks ini publik juga harus dipahamkan, bahwa sistem hukum pidana kita terutama rumusan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP tidak membedakan pelaku pencurian untuk orang miskin atau orang kaya dan besar kecilnya barang atau uang yang dicuri tidak bisa menghapuskan perkara pidananya. Dilemanya pencurian sepintas dilihat angka rupiah yang dicuri, keadilan normatif tidak bisa dihitung seperti itu saja. Yang namanya pencurian unsur-unsurnya jelas tidak ada sedikit pun mengenai jumlah atau angka-angka itu, tetapi opini masyarakat yang berkembang menilai bahwa aparat penegak hukum harus lebih melek aturan, dengan membandingkan perkara pencurian oleh orang miskin dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang masih timpang.

Jika dukungan publik seperti ini selalu berkembang, dikhawatirkan publik secara tidak sadar telah ikut andil melegitimasi pencurian kecil yang dilakukan oleh orang miskin. Hal ini bisa berbahaya, apabila tidak segera dicegah, analoginya sederhana apabila pencurian sandal/pencurian dengan nilai kecil dituntut untuk dibebaskan maka kita telah ikut andil dalam membangun masyarakat atau generasi anak bangsa berperliku mencuri dan ini tidak baik dalam membangun budaya hukum dan penegakan hukum di Indonesia.

 

Alternatif solusinya adalah membangun adanya mediasi penal atau restoratif justice dalam sistem hukum positif di Indonesia, sehingga pelanggaran tindak pidana termasuk pencurian tidak semuanya harus dihadapkan di Pengadilan. Diharapkan perumusan keadilan substansial untuk mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dapat segera diwujudkan.

Leave a Reply

Blue Captcha Image
Refresh

*