August 22nd, 2011 by admin
(Suara Karya) Tugas utama negara (pemerintah) adalah berusaha menciptakan kesejahteraan rakyat. Itulah sebabnya, negara harus tampil di depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam kehidupan masyarakat, terutama di bidang perekonomian bagi tercapainya kesejahteraan rakyat. Untuk menciptakan kesejahteraan tersebut, penarikan atau pemungutan pajak merupakan suatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Sebagai konsekuensinya, selalu dituntut kebijakan pemerintah (government policy).
Kebijakan perpajakan secara efektif dapat digunakan sebagai alat penyeimbang kelesuan ekonomi dan inflasi. Kebijakan tersebut mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang keadilan sosial, alokasi sumber-sumber pendapatan, distribusi pendapatan dan akumulasi modal. Lebih dari itu, kebijakan dapat berperan untuk mendidik rakyat sadar berpolitik dan bernegara. Salah satu manifestasinya diwujudkan dalam bentuk kerelaan berkorban demi kepentingan negara, yakni kerelaan membayar pajak.
Lahirnya UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan salah satu tonggak perubahan yang mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia. UU itu disusun dengan tujuan, antara lain untuk memberikan rasa keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak (WP), kepastian dan penegakan hukum, serta keterbukaan administrasi perpajakan dan kepatuhan sukarela WP hingga akhirnya dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Dengan terbentuknya undang-undang itu, diharapkan dapat menciptakan sistem perpajakan di Indonesia yang dapat mendatangkan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam praktiknya para WP masih sering melakukan kecurangan atau ketidakjujuran dalam menjalankan kewajibannya.
Dalam sistem hukum perpajakan di Indonesia, untuk mengantisipasi banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh WP, baik perseorangan maupun korporasi, maka dirumuskanlah aturan tindak pidana perpajakan, baik dalam UU KUP maupun KUHP. UU KUP membagi tindak pidana perpajakan meliputi kategori pelanggaran (karena WP dianggap lalai atau alpa) dan kategori kejahatan.
Apabila korporasi melakukan tindak pidana perpajakan, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perpajakan harus dilihat secara komprehensif siapa saja yang terlibat dalam proses tindak pidana perpajakan tersebut. Secara normatif ketentuan perundang-undangan perpajakan mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana. Jika korporasi yang berbuat, maka pengurus yang bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pengurus sangat tergantung pada jenis tindak pidana yang dilakukan korporasi tersebut dan ketentuan dari undang-undang yang mengaturnya. Jika pengurus yang bertanggung jawab dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perpajakan, maka yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya adalah pengurus dan pihak yang menyuruh, membantu atau ikut serta melakukan tindak pidana itu.
Sebenarnya tindak pidana pajak harus diberlakukan sebagai ultimum remidium, yaitu perbaikan paling akhir sebagai obat pamungkas. Artinya, penegakan tindak pidana pajak diharapkan lebih terfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara, tidak sekadar menegakkan hukum pidana pajak yang penyelesaiannya terlalu lama. Ini penting agar kesejahteraan rakyat dapat segera terwujud.
Leave a Reply